Hanya Burung berkicau

Minggu, 28 Oktober 2012

MAAF - MEMAAFKAN


Interaksi kehidupan sosial kita pasti pernah membuat kesalahan, sekecil apa pun. Dan itu dianggap manusiawi oleh kita semua dan terkait masalah itu kita diajarkan untuk bermaaf-maafan setiap saat. Dengan meminta maaf artinya kita telah “sadar” bahwa kita salah dan berjanji, berusaha untuk tidak mengulanginya lagi.

Dalam diri kita kita bertekad untuk “menghapus” atau paling tidak “memperbaiki” kekeliruan kita itu. Kita terkadang melakukan kesalahan tanpa sengaja. Permintaan maaf yang tulus dan disertai dengan jabat tangan mungkin akan dapat menghilangkan rasa canggung, dan kita menjadi “plong”. Yang meminta maaf “ Menyadari kekeliruannya” yang di Mintai Maaf menyadari bahwa “memaafkan jauh lebih baik “ ketimbang memendam perasaan “sakit hati”  atau “terlukai”. “Memaafkan dan melupakan”  bagi seseorang merupakan anugrah “hebat” bagi seseorang yang mampu melakukannya. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa meminta maaf adalah salah satu hal yang paling sulit kita lakukan.
Beberapa orang menganggap meminta maaf berhubungan dengan harga diri dan menunjukkan kelemahan diri. Meminta maaf pun perlu keberanian, “Menyadari” kesalahan merupakan sikap sportif. Jarang ada orang yang mampu untuk “meminta maaf” dan “Sadar” akan kesalahannya. Meminta maaf merupakan keputusan penting dalam usaha memperbaiki keretakan hubungan dan merupakan gambaran dari seseorang yang memiliki “Jiwa besar” [Mahatma]. Sekalilagi Meminta maaf bukan sekadar kata-kata kosong, ia bermakna sangat dalam sebagai rasa penyesalan dan tekad untuk tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama.


Jika ada orang yang tidak mau meminta maaf  biasanya karena Faktor harga diri atau mungkin tak “menyadari” kesalahannya dengan kata lain, ia masih merasa bahwa ia berada dipihak yang benar. Ini tergantung dari level kesadaran setiap orang. 


Jika meminta maaf saja begitu sulit dan berat apalagi memaafkan. Memaafkan ternyata jauh lebih sulit ia bukan sekadar jiwa besar tetapi sifat keilahian. Entah kita “sadari” atau “tidak kita sadari”  Kadang amarah bisa membuat kita “Buta sama sekali” dengan siapa kita berbicara, dengan siapa kita menumpahkan kekesalan kita. Kita mesti menyadari Memaafkan adalah langkah “Pengobatan dan Pertobatan”  tetapi tidak dijamin akan “menyembuhkan” apalagi “mengulangi” hari kemarin yang begitu penuh kehangatan.

Maaf-memaafkan hanya menempati ranah Psikologis saja. Kita tak bisa berharap lebih dari itu. Kita khilaf dan kita di “Perbudak” amarah yang mem-butakan mata-hati kita. Bisa saja karena kelabilan mental, kita melakukan hal-hal diluar kemampuan kita untuk mengendalikannya, bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Jika hal itu sampai terjadi maka, bisa saja “Permohonan maaf’ akan menyusul. Kita “akui” bahwa kita “tak sadarkan” diri. Kita pun melontarkan kata-kata permohonan maaf dan “menyesal” atas kejadian yang tak diharapkan itu. Reaksi yang kita dapatkan bisanya adalah “Tiada Maaf bagimu“  karena kita telah menghilangkan nyawa seseorang atau katakanlah seseorang yang paling dicintai dikeluarga itu, apalagi mendiang adalah tulang punggung keluarganya,… dst.



Atau katakanlah keluarga korban memaafkan kita dan bersikap pasrah dan tabah itu sebagai kehendak yang diatas. Tetapi jelas ini hanya sifatnya “mengobati atau menghibur” bukan mengobati ‘Rasa kehilangan”, Bagaimana nasib anak-anak dari seseorang yang kita hilangkan nyawanya akan kehilangan figur seorang ayah yang dicintai, seorang istri terpaksa menjadi janda, seorang saudara kehilangan seorang saudara yang dicintainya atau seorang orang-tua akan kehilangan anak kesayangannya. Begitu besar dan bersifat kompleksitas perubahan, Ketidak-seimbangan yang diakibatkan oleh “Ketidak-sadaran“ sesaat, Kekeliruan, Kekhilafan yang hanya sesaat. Ibarat mengendarai mobil yang bernama “Badan” jika kita lengah maka celakalah akibatnya. Disinilah pentingnya untuk menjadi “Sadar” sepenuhnya. Mara-bahaya yang bersumber dari “Ketidak-sadaran” itulah awal petaka itu. Kesadaran tidak ada hubungannya dengan gelar akademis yang tinggi. Kesadaran adalah kondisi sadar atas sang diri, sadar atau tidak sadar bisa menjadi “milik siapa saja” yang mau belajar untuk menyadari dirinya.


Tinggarsari, 29 Oktober 2012
free counters