Hanya Burung berkicau

Kamis, 16 Juni 2011

PENEBUSAN DOSA

Kita sering terjebak dalam kebiasaan menyalahkan waktu dimana kita hidup atas semua kesulitan, kesalahan atau ketidakmampuan kita. Kita sering mengatakan : “Ini Kaliyuga, jadi apa lagi yang dapat kita harapkan?” Kaliyuga telah menjadi personifikasi dari semua yang buruk dan tidak kita inginkan. Kita merasa dikutuk dan kita iri kepada mereka yang beruntung yang lahir pada jaman Sat, Treta atau Dwapara yuga. Kita menyalahkan karma atas ketidak-beruntungan kita dan menyerahkan diri kita kepada nasib. Sikap ini membawa kepada rasa minder yang pada gilirannya dapat mengakibatkan kerusakan yang hebat.

Kaliyuga, seperti tiga yuga yang lainnya, diciptakan oleh Tuhan. Dan semua ciptaan Tuhan mendapat waranugrahnya bagaimanapun berbedanya mereka satu sama lain. Tulsidas, dalam bukunya Ramcharitamanas, mendiskusikan masalah ini dengan Kak-bhushundi, gagak abadi dari banyak kelahiran, membandingkan yuga-yuga atau jaman-jaman yang berbeda ini. Dia menyebutkan Kaliyuga “ranjang panas dari dosa” (the hot-bed of sin) dimana, ia mengatakan: “Agama dilumpuhkan. Para pemalsu menciptakan dan membentuk sejumlah keyakinan yang menyimpang atau agama palsu. Setiap orang kecanduan seks, keserakahan dan nafsu. Guru dan murid-muridanya seperti orang buta dan orang tuli: yang pertama tidak dapat melihat, yang kedua tidak dapat mendengar. Orang tua mengajari anak-anak mereka kewajiban untuk memenuhi perutnya saja.

Setiap orang mengikuti aturan tingkah laku yang dikhayalkannya sendiri. Ada kekacauan dan ketiadaan hukum secara universal. Orang yang paling jahat asalkan ia kaya, dianggap mulia. Manusia melakukan dosa dan memetik penderitaan, teror, penyakit, kesedihan dan rasa kehilangan. Kemunafikan, kejahatan, ajaran yang menyimpang (heresy), kesombongan, kemabukan, nafsu seks, kepongahan dan sejenisnya merasuki seluruh alam semesta.... “Manusia melakukan sembahyang, tapa dan dana punia, melaksanakan upacara korban dan mengambil sumpah suci dengan rencana yang tidak suci.

Hujan tidak turun dan biji-bijian yang ditanam dalam tanah tidak tumbuh. Manusia terkena penyakit yang tidak ada obatnya. Mereka ditipu dan bertengkar satu sama lain tanpa sebab. Sekalipun hidup mereka singkat, dalam kesombongannya mereka menganggap akan hidup sampai akhir jaman” Dia menyimpulkan dengan mengatakan Kaliyuga “sebuah gudang kekotoran dan kejahatan”. Namun sedikit yang menyadari segi keuntungan dan kemudahan dari Kaliyuga. Menurut Kakbhushundi, Kaliyuga memiliki banyak kebajikan juga, dan yang paling penting adalah bahwa dalam Kaliyuga, “terbebas dari lingkaran kelahiran dan kematian adalah mudah”. Gagak bijaksana ini mengatakan : “Tujuan yang dalam tiga yuga pertama dicapai dengan pemujaan yang tekun, pengorbanan dan tapa, dalam Kaliyuga dicapai hanya dengan mengucapkan secara berulang-ulang (japa) nama Tuhan ...”

Dalam Satyuga, setiap orang dikuasai oleh kekutan mistik dan kebijaksanaan; pada jaman itu manusia melintasi samudera kelahiran dan kematian dengan bermeditasi atas Tuhan. Dalam Tretayuga, manusia melaksanakan berbagai macam yadnya dan melewati lingkaran kelahiran kematian dengan mempersembahkan tindakan mereka kepada Tuhan. Dalam Dwapara-yuga, manusia tidak mempunyai cara lain untuk mencapai tujuan akhir lain selain dari pada pemujaan ritual. “Tapi dalam Kaliyuga semua yang perlu kita lakukan adalah mengucapkan kisah penyempurnaan Tuhan [Wisnu]. Kekuatan dari Nama itu termanifestasi dalam Kaliyuga,” kata gagak bijak itu.

Dia berkata: “tindakan/pikiran baik atau punya yang dilakukan dalam pikiran diberikan hadiah tapi pikiran jelek atau papa yang dilakukan dalam pikiran tidak dihukum.. Jadi tidak ada yuga yang lain yang dapat dibandingkan dengan Kaliyuga, asalkan manusia mempunyai keyakinan akan kebajikan dari Kaliyuga itu.”

Ironis, bukan, bahwa ketika satu jaman tampak cocok atau kondusif bagi kebaikan moral dan spiritual, seperti dalam Satyuga, upaya keras harus dilakukan untuk mencapai pembebasan. Sebaliknya, dalam Kaliyuga dimana kondisi tidak kondusif untuk evolusi spiritual, justru cara yang lebih mudah yang berhasil. Ucapkanlah secara berulang-ulang Nama Suci Tuhan, lekatkan Dia dalam pikiranmu, dan layari samudera keberadaan ( bhav-sagar, the ocean of existence) hampir tanpa upaya. Upaya yang diminta bagi pembebasan spiritual secara proporsional berbanding terbalik dengan intensitas moral dari jaman itu. Jadi bukankah kita beruntung lahir pada jaman Kaliyuga



(Oleh : KS. RAM. [Media Hindu, Edisi VIII] Terjemahan Sang Ayu Putu Sarojini)


Rabu, 15 Juni 2011

KUNCINYA ADA DI KEPALAMU

Guru Zen Jepang Tanzan dan rahib muda Ekido bertemu dengan seorang gadis cantik yang tidak bisa menyeberangi sungai kecil. Guru Tanzan pun memberikan pertolongan ...

Guru Tanzan : " Aku akan menggendongmu menyeberangi sungai " ,kata Guru Tanzan kepada gadis tersebut.

Setelah di seberang sungai gadis itupun berkata : " Guru, terima kasih dan selamat tinggal ".

Tanzan dan rahib muda Ekido kemudian meneruskan perjalanan. Setelah setengah hari perjalanan. Rahib muda Ekido berkata :

" Guru, Gadis itu cantik sekali, tetapi kita bhiksu tidak boleh mendekati perempuan. Mengapa tadi anda menggendong gadis tersebut ? "

Tanzan : " Apakah yang kamu maksud gadis yang tadi ? Aku sudah menurunkannya sejak tadi dan tidak lagi berfikir tentang dia [menolong spontan dan tanpa berfikir lebih jauh].
Mengapa kau masih memikirkannya ?


[Koan Zen:2]


DUA ORANG SAHABAT


Suatu ketika terdapat dua orang sahabat yang berasal dari keluarga terpelajar, dua bhikkhu dari Savatthi. Salah satu dari mereka mempelajari Dhamma yang pernah dikhotbahkan oleh Sang Buddha, dan sangat ahli/pandai dalam menguraikan dan mengkhotbahkan Dhamma tersebut. Dia mengajar lima ratus bhikkhu dan menjadi pembimbing bagi delapan belas group daripada bhikkhu tersebut.

Bhikkhu lainnya berusaha keras, tekun, dan sangat rajin dalam meditasi sehingga ia mencapai tingkat kesucian arahat dengan pandangan terang analitis.

Pada suatu kesempatan, ketika bhikkhu kedua datang untuk memberi hormat kepada Sang Buddha di Vihara Jetavana, kedua bhikkhu tersebut bertemu. Bhikkhu ahli Dhamma tidak mengetahui bahwa bhikhhu sahabatnya telah menjadi seorang arahat. Dia memandang rendah bhikkhu kedua itu, dia berpikir bahwa bhikkhu tua ini hanya mengetahui sedikit Dhamma. Maka dia berpikir akan mengajukan pertanyaan kepada sahabatnya, bahkan ingin membuat malu.

Sang Buddha mengetahui tentang maksud tidak baik itu, Sang Buddha juga mengetahui bahwa hasilnya akan membuat kesulitan bagi pengikut luhur seperti bhikkhu terpelajar itu. Dia akan terlahir kembali di alam kehidupan yang lebih rendah.

Dengan dilandasi kasih sayang, Sang Buddha mengunjungi kedua bhikkhu tersebut untuk mencegah sang terpelajar bertanya kepada bhikkhu sahabatnya. Sang Buddha sendiri bertanya perihal "Penunggalan Kesadaran" (jhana) dan "Jalan Kesucian" (magga) kepada guru Dhamma; tetapi dia tidak dapat menjawab karena dia tidak mempraktekkan apa yang telah diajarkan.

Bhikkhu sahabatnya telah mempraktekkan Dhamma dan telah mencapai tingkat kesucian arahat, dapat menjawab semua pertanyaan. Sang Buddha memuji bhikkhu yang telah mempraktekkan Dhamma (vipassaka), tetapi tidak satu kata pujianpun yang diucapkan Beliau untuk orang yang terpelajar (ganthika).

Murid-murid yang berada di tempat itu tidak mengerti, mengapa Sang Buddha memuji bhikkhu tua dan tidak memuji kepada guru yang telah mengajari mereka. Karena itu, Sang Buddha menjelaskan permasalahannya kepada mereka.

Pelajar yang banyak belajar tetapi tidak mempraktekkannya sesuai Dhamma adalah seperti penggembala sapi, yang menjaga sapi-sapi untuk memperoleh upah, sedangkan seseorang yang mempraktekkan sesuai Dhamma adalah seperti pemilik yang menikmati lima manfaat dari hasil pemeliharaan sapi-sapi tersebut. Jadi orang terpelajar hanya menikmati pelayanan yang diberikan oleh murid-muridnya, bukan manfaat dari "Jalan" dan "Hasil Kesucian" (magga-phala).
Bhikkhu lainnya, berpikir dia mengetahui sedikit dan hanya bisa sedikit dalam menguraikan Dhamma, telah memahami dengan jelas inti dari Dhamma dan telah mempraktekkannya dengan tekun dan penuh semangat; adalah seseorang yang berkelakuan sesuai Dhamma (anudhammacari). Yang telah menghancurkan nafsu indria, kebencian, dan ketidak-tahuan, pikirannya telah bebas dari kekotoran batin, dan dari semua ikatan terhadap dunia ini maupun pada yang selanjutnya, ia benar-benar memperoleh manfaat dari "Jalan" dan "Hasil Kesucian" (magga-phala).

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair :

Biarpun seseorang banyak membaca kitab suci, tetapi tidak berbuat sesuai dengan ajaran, maka orang lengah itu sama seperti gembala sapi yang menghitung sapi milik orang lain;ia tak akan memperoleh manfaat kehidupan suci. Biarpun seseorang sedikit membaca kitab suci, tetapi berbuat sesuai dengan ajaran, menyingkirkan nafsu indria,kebencian dan ketidak-tahuan, memiliki pengetahuan benar dan batin yang bebas dari nafsu, tidak melekat pada apapun baik di sini maupun di sana; maka ia akan memperoleh manfaat kehidupan suci.


Dhammapada I : 19-20

Selasa, 14 Juni 2011

ROHANIAWAN HINDU


JERO
Dalam Budaya Bali kita mengenal kata/sebutan JRO [JERO]. JERO bisa berarti Rumah bisa juga berarti panggilan terhadap orang yang baru kenal seperti kalimat, " Saking Napi Jerone? [Dari mana asal anda]. Jero juga bisa merupakan sebutan untuk orang dari kalangan bawah [rakyat biasa] yang menikah dengan golongan Bangsawan [darah biru].

Makna Kata JRO[JERO] yang melekat pada seseorang, sebenarnya mengacu kepada rasa hormat, menghargai, disucikan. JERO sangat dekat dengan kata JEROAN yang berarti bagian dalam pura [utama mandala]. sehingga biasanya mereka yang mengabdikan diri ditempat-tempat suci disebut JRO/JERO.

BICARA

Dadi pwang niscaya jnana lumekas tak ujar, lumekasang maprawerthi”
"Bila keputusan hati telah terbentuk maka keluarlah kata-kata dan gerak perilaku."~ [MDS,88. 79] ~


Berbicara dalam sebuat rapat/pertemuan "tukar pikiran" ; pikiran yang bekerja sehingga kualitas manusia sangat ditentukan oleh kualitas daya pikirnya. Daya pikir yang di ungkapkan dengan kata-kata [simbol-simbol komunikasi]. Pertanyaannya adalah, "Apakah apa yang dikomunikasikan semata-mata berasal dari kerja pikiran saja ?

Ada juga kata-kata yang tanpa harus dipikir [spontanitas], disana juga egoisme "mau menang sendiri", pamer konsep., intelektualitas dan gagasan atau apapun namanya. berbicara kadang juga bersifat ajakan, mempengaruhi, memotivasi [keinginan / motif bicara] ....dst

Mereka yang seimbang, harmonis tidak mengumbar kata-kata, terseret arus adu argumentasi yang tidak perlu "debat kusir". ia hanya membahasakan seperlunya saja ... tanpa dilebih-lebihkan atau di kurangi ... tak menyela / memotong pembicaraan ... jujur ... polos dan mudah di mengerti.

"Orang-orang yang dapat menahan dorongan untuk berbicara, permintaan dari pikiran, tindakan amarah dan dorongan dari lidah, perut dan kemaluan telah memenuhi syarat untuk menerima murid dari seluruh dunia." ~ [Ajaran Abadi Upadesamrta, oleh. Om A.C.Bhaktivedanta Swami Prabhupada] ~

Apakah bathin yang tenang tak boleh bicara ?

Tidak...tidak..bukan itu yang dimaksud. tak ada larangan untuk bicara, jangan memaksakan diri untuk tidak bicara... anda tidak harus menjadi orang bisu... setiap kelahiran anda dilengkapi dengan alat wicara. Kodok disawah berbicara dengan mengorek, begitu juga setiap orang yang mempunyai lidah selalu ingin berbicara, meskipun dapat dikatakan masuk akal disertai alasan-alasan ilmiah sekalipun, akan tetapi mengoreknya si kodok disawah, berpotensi mengundang kedatangan seekor ular.

-0O0-




Guru Nan-in menuangkan teh ke dalam cangkir, dan meskipun cangkir telah penuh, ia menuang terus. Sang murid terheran-heran melihat air teh meluber di atas meja, akhirnya murid tidak dapat berdiam diri lagi dan berkatalah: "Guru, teh telah melimpah keluar cangkir, janganlah menuang lagi..!"

" Engkau persis cangkir ini, penuh dengan pandangan dan cara berpikirmu sendiri, Jika tak kau kosongkan cangkirmu ini terlebih dahulu, bagaimana saya mesti menunjukkan Zen padamu ?"

[Koan Zen:17].

SADAR

Menyimak, memahami, pengenalan (identifikasi), mendengarkan....

sadar "Awareness", éling & waspada (Sati); kewaspadaan, yaitu kita mengetahui fenomena batin apa yang akan muncul. Sadar adalah mengetahui, yaitu kita mengetahui bila ada fenomena batin yang telah muncul. Kebalikan batin yang sadar adalah batin yang tak sadar, inilah yang dialami pada setiap mahluk umumnya, maksudnya tak sadar disini adalah ia tidak mengetahui kapan fenomena batin tsb muncul dan kapan lenyapnya. “sati sampajañña”(kesadaran & kejernihan).

Perhatian terhadap fenomena batin yang muncul, tahu bagaimana ia muncul, tahu bagaimana ia berproses dan tahu bagaimana ia lenyap. Batin selalu mengikuti setiap proses yang terjadi pada bentuk-bentuk fenomena batin yang muncul, bagaimana mereka berproses, muncul dan lenyap silih berganti.

Bila berlatih dengan banyak keinginan, banyak harapan, maka muncul dorongan keinginan (lobha). Bila dengan ketidakpuasan dan ketidaknyamanan, maka lahir ketidaksenangan (dosa). Bila sungguh-sungguh memahami apa yang dilakukan, maka itu merupakan kegelapan batin (moha). Harus ada kecerdasan dan pengetahuan terhindar dari kekotoran batin (kilesa).

"menyimak diri sendiri, maka dari penyimakan itu timbullah kejelasan, timbullah kepekaan; dari penyimakan itu batin menjadi sehat, kuat. Tanpa menurut atau menentang, batin menjadi hidup, intens" [Krishnamurti].








free counters