Interaksi
kehidupan sosial kita pasti pernah membuat kesalahan, sekecil apa pun. Dan itu
dianggap manusiawi oleh kita semua dan terkait masalah itu kita diajarkan untuk
bermaaf-maafan setiap saat. Dengan meminta maaf artinya kita telah “sadar”
bahwa kita salah dan berjanji, berusaha untuk tidak mengulanginya lagi.
Dalam
diri kita kita bertekad untuk “menghapus” atau paling tidak “memperbaiki”
kekeliruan kita itu. Kita terkadang melakukan kesalahan tanpa sengaja.
Permintaan maaf yang tulus dan disertai dengan jabat tangan mungkin akan dapat menghilangkan
rasa canggung, dan kita menjadi “plong”. Yang meminta maaf “ Menyadari
kekeliruannya” yang di Mintai Maaf menyadari bahwa “memaafkan jauh lebih baik “
ketimbang memendam perasaan “sakit hati”
atau “terlukai”. “Memaafkan dan melupakan” bagi seseorang merupakan anugrah “hebat” bagi
seseorang yang mampu melakukannya. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa meminta
maaf adalah salah satu hal yang paling sulit kita lakukan.
Beberapa orang
menganggap meminta maaf berhubungan dengan harga diri dan menunjukkan kelemahan
diri. Meminta maaf pun perlu keberanian, “Menyadari” kesalahan merupakan sikap
sportif. Jarang ada orang yang mampu untuk “meminta maaf” dan “Sadar” akan kesalahannya.
Meminta maaf merupakan keputusan penting dalam usaha memperbaiki keretakan
hubungan dan merupakan gambaran dari seseorang yang memiliki “Jiwa besar”
[Mahatma]. Sekalilagi Meminta maaf bukan sekadar kata-kata kosong, ia bermakna
sangat dalam sebagai rasa penyesalan dan tekad untuk tidak mengulangi lagi
kesalahan yang sama.
Jika ada orang
yang tidak mau meminta maaf biasanya
karena Faktor harga diri atau mungkin tak “menyadari” kesalahannya dengan kata
lain, ia masih merasa bahwa ia berada dipihak yang benar. Ini tergantung dari
level kesadaran setiap orang.
Jika meminta maaf
saja begitu sulit dan berat apalagi memaafkan. Memaafkan ternyata jauh lebih
sulit ia bukan sekadar jiwa besar tetapi sifat keilahian. Entah kita “sadari”
atau “tidak kita sadari” Kadang amarah
bisa membuat kita “Buta sama sekali” dengan siapa kita berbicara, dengan siapa
kita menumpahkan kekesalan kita. Kita mesti menyadari Memaafkan adalah langkah “Pengobatan
dan Pertobatan” tetapi tidak dijamin
akan “menyembuhkan” apalagi “mengulangi” hari kemarin yang begitu penuh kehangatan.
Maaf-memaafkan
hanya menempati ranah Psikologis saja. Kita tak bisa berharap lebih dari itu.
Kita khilaf dan kita di “Perbudak” amarah yang mem-butakan mata-hati kita. Bisa
saja karena kelabilan mental, kita melakukan hal-hal diluar kemampuan kita
untuk mengendalikannya, bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Jika hal itu
sampai terjadi maka, bisa saja “Permohonan maaf’ akan menyusul. Kita “akui”
bahwa kita “tak sadarkan” diri. Kita pun melontarkan kata-kata permohonan maaf
dan “menyesal” atas kejadian yang tak diharapkan itu. Reaksi yang kita dapatkan
bisanya adalah “Tiada Maaf bagimu“ karena kita telah menghilangkan nyawa
seseorang atau katakanlah seseorang yang paling dicintai dikeluarga itu,
apalagi mendiang adalah tulang punggung keluarganya,… dst.
Atau katakanlah
keluarga korban memaafkan kita dan bersikap pasrah dan tabah itu sebagai
kehendak yang diatas. Tetapi jelas ini hanya sifatnya “mengobati atau menghibur”
bukan mengobati ‘Rasa kehilangan”, Bagaimana nasib anak-anak dari seseorang yang
kita hilangkan nyawanya akan kehilangan figur seorang ayah yang dicintai, seorang
istri terpaksa menjadi janda, seorang saudara kehilangan seorang saudara yang
dicintainya atau seorang orang-tua akan kehilangan anak kesayangannya. Begitu besar
dan bersifat kompleksitas perubahan, Ketidak-seimbangan yang diakibatkan oleh “Ketidak-sadaran“
sesaat, Kekeliruan, Kekhilafan yang hanya sesaat. Ibarat mengendarai mobil yang
bernama “Badan” jika kita lengah maka celakalah akibatnya. Disinilah pentingnya
untuk menjadi “Sadar” sepenuhnya. Mara-bahaya yang bersumber dari “Ketidak-sadaran”
itulah awal petaka itu. Kesadaran tidak ada hubungannya dengan gelar akademis
yang tinggi. Kesadaran adalah kondisi sadar atas sang diri, sadar atau tidak
sadar bisa menjadi “milik siapa saja” yang mau belajar untuk menyadari dirinya.
Tinggarsari, 29 Oktober 2012