“ | Kelahiran adalah penderitaan; menjadi tua adalah penderitaan; penyakit adalah penderitaan; kematian adalah penderitaan; kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, kesengsaraan (ketidaksenangan) dan keputusasaan adalah penderitaan; tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan. Dengan kata lain Lima kelompok kehidupan (Pancakhandha) yang dipengaruhi kemelekatan adalah penderitaan (dukkha). | ” |
—Samyutta Nikaya 56.11
|
Senin, 26 November 2012
PENDERITAAN
Minggu, 28 Oktober 2012
MAAF - MEMAAFKAN
Interaksi
kehidupan sosial kita pasti pernah membuat kesalahan, sekecil apa pun. Dan itu
dianggap manusiawi oleh kita semua dan terkait masalah itu kita diajarkan untuk
bermaaf-maafan setiap saat. Dengan meminta maaf artinya kita telah “sadar”
bahwa kita salah dan berjanji, berusaha untuk tidak mengulanginya lagi.
Dalam
diri kita kita bertekad untuk “menghapus” atau paling tidak “memperbaiki”
kekeliruan kita itu. Kita terkadang melakukan kesalahan tanpa sengaja.
Permintaan maaf yang tulus dan disertai dengan jabat tangan mungkin akan dapat menghilangkan
rasa canggung, dan kita menjadi “plong”. Yang meminta maaf “ Menyadari
kekeliruannya” yang di Mintai Maaf menyadari bahwa “memaafkan jauh lebih baik “
ketimbang memendam perasaan “sakit hati”
atau “terlukai”. “Memaafkan dan melupakan” bagi seseorang merupakan anugrah “hebat” bagi
seseorang yang mampu melakukannya. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa meminta
maaf adalah salah satu hal yang paling sulit kita lakukan.
Beberapa orang
menganggap meminta maaf berhubungan dengan harga diri dan menunjukkan kelemahan
diri. Meminta maaf pun perlu keberanian, “Menyadari” kesalahan merupakan sikap
sportif. Jarang ada orang yang mampu untuk “meminta maaf” dan “Sadar” akan kesalahannya.
Meminta maaf merupakan keputusan penting dalam usaha memperbaiki keretakan
hubungan dan merupakan gambaran dari seseorang yang memiliki “Jiwa besar”
[Mahatma]. Sekalilagi Meminta maaf bukan sekadar kata-kata kosong, ia bermakna
sangat dalam sebagai rasa penyesalan dan tekad untuk tidak mengulangi lagi
kesalahan yang sama.
Jika ada orang
yang tidak mau meminta maaf biasanya
karena Faktor harga diri atau mungkin tak “menyadari” kesalahannya dengan kata
lain, ia masih merasa bahwa ia berada dipihak yang benar. Ini tergantung dari
level kesadaran setiap orang.
Jika meminta maaf
saja begitu sulit dan berat apalagi memaafkan. Memaafkan ternyata jauh lebih
sulit ia bukan sekadar jiwa besar tetapi sifat keilahian. Entah kita “sadari”
atau “tidak kita sadari” Kadang amarah
bisa membuat kita “Buta sama sekali” dengan siapa kita berbicara, dengan siapa
kita menumpahkan kekesalan kita. Kita mesti menyadari Memaafkan adalah langkah “Pengobatan
dan Pertobatan” tetapi tidak dijamin
akan “menyembuhkan” apalagi “mengulangi” hari kemarin yang begitu penuh kehangatan.
Maaf-memaafkan
hanya menempati ranah Psikologis saja. Kita tak bisa berharap lebih dari itu.
Kita khilaf dan kita di “Perbudak” amarah yang mem-butakan mata-hati kita. Bisa
saja karena kelabilan mental, kita melakukan hal-hal diluar kemampuan kita
untuk mengendalikannya, bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Jika hal itu
sampai terjadi maka, bisa saja “Permohonan maaf’ akan menyusul. Kita “akui”
bahwa kita “tak sadarkan” diri. Kita pun melontarkan kata-kata permohonan maaf
dan “menyesal” atas kejadian yang tak diharapkan itu. Reaksi yang kita dapatkan
bisanya adalah “Tiada Maaf bagimu“ karena kita telah menghilangkan nyawa
seseorang atau katakanlah seseorang yang paling dicintai dikeluarga itu,
apalagi mendiang adalah tulang punggung keluarganya,… dst.
Atau katakanlah
keluarga korban memaafkan kita dan bersikap pasrah dan tabah itu sebagai
kehendak yang diatas. Tetapi jelas ini hanya sifatnya “mengobati atau menghibur”
bukan mengobati ‘Rasa kehilangan”, Bagaimana nasib anak-anak dari seseorang yang
kita hilangkan nyawanya akan kehilangan figur seorang ayah yang dicintai, seorang
istri terpaksa menjadi janda, seorang saudara kehilangan seorang saudara yang
dicintainya atau seorang orang-tua akan kehilangan anak kesayangannya. Begitu besar
dan bersifat kompleksitas perubahan, Ketidak-seimbangan yang diakibatkan oleh “Ketidak-sadaran“
sesaat, Kekeliruan, Kekhilafan yang hanya sesaat. Ibarat mengendarai mobil yang
bernama “Badan” jika kita lengah maka celakalah akibatnya. Disinilah pentingnya
untuk menjadi “Sadar” sepenuhnya. Mara-bahaya yang bersumber dari “Ketidak-sadaran”
itulah awal petaka itu. Kesadaran tidak ada hubungannya dengan gelar akademis
yang tinggi. Kesadaran adalah kondisi sadar atas sang diri, sadar atau tidak
sadar bisa menjadi “milik siapa saja” yang mau belajar untuk menyadari dirinya.
Tinggarsari, 29 Oktober 2012
Senin, 15 Oktober 2012
DOA
Karma Mengajarkan kita agar bertumpu pada kekuatan diri sendiri dan bukan kekuatan pihak lain. kita tak bisa hanya semata-mata mempercayai atau menaruh keyakinan pada orang lain; walaupun orang [junjungan] itu memiliki tingkat kebijaksanaan dan stabilitas yang baik. Semua hal mesti kita lakukan sendiri, kita harus berjalan, bahkan bermeditasi sendiri.
Semua penganut keyakinan disemua budaya mengenal suatu kegiatan yaitu berdoa. Meskipun demikian mungkin wujudnya berbeda-beda. Yang paling menentukan adalah level kesadaran seseorang dalam berdoa, seperti misalnya berdoa ketika bahagia dan bersyukur, berdoa ketika menghadapi persoalan sulit. tidak jarang seseorang justru merasa "gagal" dalam doa sehingga membawanya terseret dalam rasa "tidak mempercayai doa". Mengapa doa kadang [seperti] terkabul dan terkadang tidak di 'dengar" oleh Tuhan ?
Doa adalah tekad kita, kesungguhan dan ketulusan kita adalah kuncinya. Apakah kita benar-benar menginginkan atau membutuhkan sesuatu yang kita doakan itu atau itu [mungkin] hanya rasa kepemilikan yang tinggi, rasa berharap yang terlalu tinggi. Ibarat menabur benih, kemudian disiram dan dipelihara, dijaga dengan tulus benih itu, tetapi benih itu juga bisa mati tidak sesuai harapan kita. Pertanyaannya kemudian adalah; Apakah benih yang ditanam itu pasti akan berbuah kebaikan untuk kita atau justru menghasilkan buah keburukan?
Kita tak pernah menyadari hal itu. Yang jelas kita hanya menginginkan yang baik-baik saja dalam kehidupan kita, padahal itu tak mungkin. Buah yang pahit belum tentu pertanda buruk begitupun sebaliknya, buah yang manis bukan berarti membawa kebaikan buat kita dan juga orang-orang disekeliling kita.
Singaraja - Bali,
Tilem Sasih Kapat, Dina Soma Pahing wuku merakih.
15 Oktober 2012
Semua penganut keyakinan disemua budaya mengenal suatu kegiatan yaitu berdoa. Meskipun demikian mungkin wujudnya berbeda-beda. Yang paling menentukan adalah level kesadaran seseorang dalam berdoa, seperti misalnya berdoa ketika bahagia dan bersyukur, berdoa ketika menghadapi persoalan sulit. tidak jarang seseorang justru merasa "gagal" dalam doa sehingga membawanya terseret dalam rasa "tidak mempercayai doa". Mengapa doa kadang [seperti] terkabul dan terkadang tidak di 'dengar" oleh Tuhan ?
Doa adalah tekad kita, kesungguhan dan ketulusan kita adalah kuncinya. Apakah kita benar-benar menginginkan atau membutuhkan sesuatu yang kita doakan itu atau itu [mungkin] hanya rasa kepemilikan yang tinggi, rasa berharap yang terlalu tinggi. Ibarat menabur benih, kemudian disiram dan dipelihara, dijaga dengan tulus benih itu, tetapi benih itu juga bisa mati tidak sesuai harapan kita. Pertanyaannya kemudian adalah; Apakah benih yang ditanam itu pasti akan berbuah kebaikan untuk kita atau justru menghasilkan buah keburukan?
Kita tak pernah menyadari hal itu. Yang jelas kita hanya menginginkan yang baik-baik saja dalam kehidupan kita, padahal itu tak mungkin. Buah yang pahit belum tentu pertanda buruk begitupun sebaliknya, buah yang manis bukan berarti membawa kebaikan buat kita dan juga orang-orang disekeliling kita.
Singaraja - Bali,
Tilem Sasih Kapat, Dina Soma Pahing wuku merakih.
15 Oktober 2012
Kamis, 04 Oktober 2012
The SIXTH SENSE
Dorongan keinginanku begitu kuat untuk membahas yang satu ini. Aku sendiri agnostik untuk hal-hal seperti mata ketiga, levitasi dan sejenisnya. Aku tak mampu membuktikannya pada diriku sendiri bahwa aku [...dan juga manusia lain] memiliki kemampuan seperti itu. tetapi aku akui bahwa dalam setiap kesempatan ada sesuatu yang mengagetkan dalam diriku aku bingung memberinya istilah, mungkin semacam intuisi, indra keenam atau apalah. Aku berusaha mencari orang-orang yang ahli dengan hal itu, mereka mengatakan aku ini memiliki potensi Pengusada. Aku melatih sebagian yang diajarkan tentunya yang sederhana dan tidak rumit.
Aku melakukan meditasi yang metodenya aku rancang sendiri. Aku terinspirasi dari metode di Sai Centre [Bhagavan Shri sathya Sai Baba] cukup sederhana dan simple sehingga akupun memberikan nama sebagai Meditasi cahaya. Aku cukup nyaman dengan metode ini dengan memakai cahaya sebagai penuntun dengan sejumlah afirmasi sederhana...aku cukup menikmatinya. Di beberapa tempat aku juga mencari referensi seperti Vipassana dan konsep kosong. Ternyata sama saja. di meditasi cahaya juga ada kosong pada akhirnya. Kosong itu diam saja [pasif] menyaksikan seberapa gemerlap cahaya diri, tentu saja kita harus menjaga cahaya itu agar semakin terang, dengan selalu berbuat kebaikan. ibarat sebuah memiliki pelita kita harus membagi pelita [=cinta kasih] kita kepada yang lain selain melupakan setiap kesalahan orang lain kita juga harus memaafkan diri kita sendiri.
Beberapa orang mempersamakan antara Intuisi dan Six sense ataupun MK3. ini bahasan yang cukup berat bagiku tetapi aku cukup terobsesi dibuatnya. Aku ingin menyingkapnya sedapat mungkin yang aku bisa. Aku sadari aliran hangat disepanjang tulang punggungku mengalir deras, energi hangat berkeliaran disekitar telingaku seperti mengikutiku kemanapun pergi. aku tak dapat "memanggilnya" dia muncul sesukanya saja. dia mungkin diluar kendaliku. Ketika kecelakaan menimpaku aku bisa mengetahuinya sebelumnya, diriku berkata dalam hati " oh...aku sebentar akan jatuh di jalan itu..." ia melintas seperti iklan sebuah produk di TV...lewat begitu saja. ya...tentu saja aku lebih sering mengabaikannya daripada "mendengarkan" bisikannya itu. Aku lebih mempercayai kondisi sadarku. Aku banyak menimbang, menggunakan akal logikakku. tetapi dia benar sementara aku mengabaikannya. Namun ketika aku memanggilnya, dia tak kunjung datang. aku ingin menunjukkan pada teman-temanku aku "memilikinya" ternyata dia tidak muncul juga...he he ..jika dipikir-pikir seperti pemain sulap saja rasanya..:) dia enggan menampakan keberadaannya pada semua orang disekelilingku.
Entahlah aku yakin setiap orang memiliki hal-hal seperti ini. Bisa membanggakan, membuat penasaran, sebagian juga menyedihkan dst. aku ingin lebih dekat dengannya tapi tak tau harus bagaimana selain hanya melalui yang aku bisa.
Senin, 01 Oktober 2012
CINTA
Cinta merupakan hal yang sifatnya Pribadi. Anda tidak bisa mencintai kurang, dan Anda tidak bisa mencintai lebih - karena ia bukan dilihat dari kuantitas. Ini berkenaan dengan kualitas, tidak terukur.
Cinta
adalah Hasil produksi dari suatu kesadaran yang meningkat. Ini seperti
wangi bunga. Jangan mencarinya dalam akar, itu tidak ada. secara
biologis, Anda adalah akar, Namun kesadaran Anda terletak pada bunga.
Ketika Anda menjadi lebih dan lebih dimana teratai kesadaran terbuka,
Anda akan dikagetkan oleh pengalaman luar biasa, yang hanya bisa disebut
cinta. Begitu penuh sukacita, penuh kebahagiaan. Cinta adalah pengalaman spiritual tidak ada hubungannya dengan ketertarikan fisik / jenis kelamin dan tidak ada hubungannya dengan tubuh.
Minggu, 30 September 2012
MEWINTEN
Dibali dikenal istilah Mawinten [Bahasa Kawi] bersinar-sinar bagaikan intan permata, bening seperti kaca atau air yang mampu mengendapkan segala lumpur. Kesucian itu diibaratkan bagaikan Intan permata yang bening.
Bathin bening, bathin hening tanpa kontaminasi. yang namanya bening, hening tentu saja bukan dengan kekotoran bathin. Disana terkandung ketulusan hati; suatu kesuka-kerelaan. Kerelaan atau ketulusan itu membawa kepekaan dan gairah hidup yang tinggi, yang mewujud sebagai tindakan. Tindakan pelayanan [pelayan umat], teladan umat, bathin yang bening jauh dari pertimbangan-pertimbangan untung-rugi.
Seorang yang "Mawa-Intan; Mewinten" seorang yang telah tertib, penuh kebajikan (righteousness), penuh kerendahan hati, welas asih — bukan tujuan kehormatan, rasa ingin dihargai [disinggihkan], disucikan. Lohh.. kok bisa tak mau dihargai? bukankah itu sebuah keharusan bagi kita menghormati mereka? Lalu...
Persoalan harga diri, kehormatan dst merupakan simbol kemelekatan secara utuh dan itu bukanlah pertanda keheningan, kebeningan bathin. Bukankah kehormatan, diHargai dan dicontoh dimasyarakat merupakan buah yang manis dari Pohon besar Pelayanan [ngayah], di pupuk dengan sikap Kebijaksanaan, disiram dengan sikap Welas asih ?
SEKADAR CELOTEH
*Belahmanukan-Bali, 30 September 2012
Sabtu, 29 September 2012
MENCARI TUHAN
Seorang Pertapa sedang bermeditasi di tepi sungai ketika seorang pemuda datang dan bertanya kepadanya.
"Guru, aku ingin menjadi muridmu." Kata anak muda itu.
"Mengapa?" Tanya petapa.
Si anak muda berpikir sebentar, "Sebab aku ingin mencari Tuhan."
Sang Petapa segera melompat ke atas tubuh si anak muda, memegang kuduk lehernya, membawanya dia ke dalam sungai, dan mencelupkan muka dan kepalanya ke dalam air. Sang Petapa menahan dia di sana untuk sebentar, si anak muda terus menendang dan berjuang untuk membebaskan dirinya, sang petapa akhirnya menarik tubuhnya keluar dari sungai. Anak muda itu memuntahkan air dan menghembuskan napas untuk memperbaiki aliran pernafasannya yang tersengal-sengal.
Ketika dia tenang kembali, sang petapa itu berkata, "Ceritakan apa yang paling kamu inginkan ketika kamu terendam air?"
"Udara!" Jawab anak muda itu.
"Baik !," kata guru. "Pulanglah dan kembalilah kepadaku ketika kamu menginginkan Tuhan sebanyak kamu menginginkan udara."
GAYATRI MANTRA
Manusia memiliki empat kelahiran. Kelahiran pertama ialah elahiran secara fisik dari rahim sang ibu, kemudian ia memperoleh kehidupan kedua pada saat inisiasi dengan mantra gayatri, kelahiran ketiga ketika ia mempelajari veda-veda [kebijaksanaan], setelah ia mengenali konsep Brahman dalam dirinya maka ialah seorang Brahmana [kelahiran keempat].
Manusia merupakan perwujudan kedewataan, manusia memebutuhkan makanan bukan sekadar untuk mempertahankan kehidupannya saja melainkan memelihara sifat kedewataan dalam dirinya lewat kejernihan pikiran atau kebijaksanaan.
Gayatri mantram merupakan Sarva Devata Svarupini dan Sarvamantra Svarupini “ Perwujudan segala Dewata dan segala Mantra. Oleh karenanya gayatri disebut sebagai “Ibu Veda” Gayatri chandasan Mata. Disanalah ketiga ibu jagatraya Gayatri, Savitri dan Sarasvati bersemayam. Gayatri menandakan penguasaan atas indra-indra, savitri penguasaan atas segala bentuk daya hidup, dan Sarasvati adalah pengetahuan kebijaksanaan. Semua kekuatan-kekuatan itu bersemayam didalam diri manusia [mikrokosmik]. Gayatri Mantram memberikan kekuatan fisik, Daya hidup [energi], dan Prajnana sakti yang kemudian ini dikenal sebagai kesadaran yang selalu padu. Demikianlah keagungan Mantra Gayatri !
Belahmanukan-Bali, 29 Sept 2012
Selasa, 25 September 2012
TANGGA-TANGGA PENCERAHAN
- Segala sesuatu yang bisa diketahui telah diketahui, jadi tak ada lagi yang harus diketahui.
- Segala tali pengikat, bagaimanapun sifatnya, telah teruraikan.
- Karena telah mencapai Kaivalya, sudah tercapailah semua, tidak ada lagi yang harus dicapai.
- Segala kewajiban sang yogipun telah terselesaikan.
- Pikiran telah sentosa.
- Semua guna (sattva, rajas dan tamas) telah jatuh, bagai jatuhnya
- Setelah terlepas dari triguna, Jivatman berdiri tegak atas dirinya sendiri, merdeka selamanya.
~Mani-Lana-Boehédwi-Weni
Sabtu, 22 September 2012
CINTA KASIH
Sadarkah kita bahwa gugusan planet-planet, bintang-bintang, hingga daratan dan perairan beserta kehidupan ini saling berhubungan satu sama lain ?
Jika kita perhatikan bahwa semuanya membentuk interaksi antara satu dengan yang lainnya, Kita sendiri adalah bagian dari sistem yang maha besar dan sangat rumit tersebut. Semua begitu teratur oleh sebuah pola energi besar dan kuat. Pergerakan demi pergerakan inilah dinamakan Daya hidup yang melimpahi kita dengan cinta kasih tanpa batasan-batasan.
Belahmanukan,
Minggu. 23 September 2012
Belahmanukan,
Minggu. 23 September 2012
Langganan:
Postingan (Atom)